Pencegahan terjadinya seorang ASN melakukan pelecehan seksual



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Persoalan etika dan moral memang masih menjadi suatu permasalahan yang sulit diperbaiki di negeri ini. Hal ini menjadi sangat kompleks ketika banyak terjadi kasus yang melanggar etika dan moral di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Dewasa ini banyak terjadi kasus yang menjadi tren di kalangan Pegawai Negeri Sipil mengenai kasus tindakan asusila atau melanggar etika dan moral. Pegawai Negeri Sipil dianggap tidak lagi memiliki etika sebagai seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) ketika PNS tersebut melanggar kode etik PNS atau aturan yang ada. Seharusnya kode etik atau aturan tersebut menjadi dasar pertimbangan dan acuan dalam melakukan tindakan sebagai seorang Aparatur Sipil Negara. Salah satu hal yang cukup populer mengenai permasalahan etika PNS di Indonesia adalah adanya tren kasus pelecehan seksual kepada gadis dibawah umur yang dilakukan secara masif.
Di berbagai negara terdapat perbedaan definisi mengenai pelecehan seksual. Amerika mendefinisikan pelecehan seksual adalah “kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pelecehan seksual, yaitu “persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana” (sumber: Diambil dari Skripsi yang ditulis oleh Dedy Pratama diakses dari http://eprints.upnjatim.ac.id/4002/1/file1.pdf pada 24 November 2016).

Dari definisi tesebut jelas bahwa tindakan pelecehan seksual merupakan salah satu tindakan asusila yang melanggar etika dan moral, apalagi kasus ini terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil dimana tidak asing lagi bagi seorang PNS mengenai kode etik seorang PNS. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa KORPS dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan pada Pasal 11 mengenai Etika PNS terhadap diri sendiri diantaranya adalah menjaga kesehatan jasmani dan ruhani serta berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan. Dari kedua poin tersebut dapat dilihat bahwa seorang pegawai Negeri Sipil yang melanggar etika dan moral dengan melakukan pelecehan seksual telah melanggar Kode Etik PNS pada pasal tersebut yaitu seorang PNS tidak bisa menjaga kesehatan ruhaninya karena telah melanggar nilai-nilai dan norma agama, selanjutnya perbuatan pelecehan seksual merupakan perbuatan yang tidak sopan bahkan lebih dari itu tindakan pelecehan seksual ini dinilai sangat tidak pantas dan memalukan untuk dilakukan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil.
Salah satu kasus tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yaitu salah seorang PNS yang bekerja sebagai pegawai di bagian kebersihan di Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Korban dari tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang PNS ini adalah tetangganya sendiri yaitu seorang gadis yang masih berusia 8 tahun (sumber: diakses dari http://news.okezone.com/read/2016/05/14/519/1388167/gemas-alasan-oknum-pns-di-mojokerto-lakukan-pelecehan seksual diakses pada 24 November 2016). Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih mengalami krisis moral dan semakin lunturnya nilai-nilai dan norma yang dianut oleh bangsa Indonesia. Satu dari sekian banyak kasus tindakan asusila yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah alarm penting bahwa Indonesia perlu dan wajib melakukan sebuah perubahan untuk memperbaiki moral serta menjunjung kembali nilai-nilai dan norma yang dianut dan berkembang di seluruh masyarakat Indonesia.

B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.      Penyimpangan kode etik ASN oleh seorang Aparatur Sipil Negara asal Mojokerto , ini terbukti dar seorang pegawai ASN asal mojokerto melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun.
2.      Kurangnya pembinaan nilai-nilai etika dan moral kepada pegawai ASN.
3.      Merusak reputasi ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

C.    Batas Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi masalah atau ruang lingkup penulisan pada hal yang mengenai krisis moral dan etika Aparatur Sipil Negara di Indonesia sebagai berikut :
Analisis pelaku pegawai ASN asal Mojokerto yang melakukan pelecehan seksual terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun.

D.    Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab seorang pegawai ASN asal Mojokerto melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun ?
2.      Apa saja dampak ketika seorang pegawai ASN melakukan tindakan pelecehan seksual ?
3.      Bagaimanakah solusi untuk mencegah terjadinya seorang pegawai ASN melakukan tindakan pelecehan seksual ?












BAB II
KAJIAN PUSATAKA
1.      Aparatur Sipil Negara
A.    Definisi Aparatur Sipil Negara
Aparatur Sipil Negara dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dijelaskan bahwa yang termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebagai berikut :
1.      Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
2.      Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang telah diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3.      Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

B.     Kode Etik Aparatur Sipil Negara
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 2014 pasal 5 ayat 2 kode etik dan kode perilaku pengaturan Pegawai ASN sebagai berikut :
a.       Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.
b.      Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin.
c.       Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
d.      Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e.       Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.
f.       Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.
g.      Menggunakan kekayaan dan barang milik negara sevara bertanggung jawab, efektif, dan efisien.
h.      Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan melaksanakan tugasnya.
i.        Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan.
j.        Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain.
k.      Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN.
l.        Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.

Sedangkan  berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil :
1.      Etika pegawai ASN dalam bermasyarakat meliputi :
a.       Mewujudkan pola hidup sederhana.
b.      Memberikan pelayanan dengan empati, hormat, dan santun , tanpa pamrih serta tanpa unsur paksaan.
c.       Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif.
d.      Tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat.
e.       Berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.
2.     Etika pegawai ASN terhadap diri sendiri meliputi :
a.       Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
b.      Bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
c.       Memiliki daya juang tinggi.

d.      Memelihara kesehatan jasmani dan rohani.
e.       Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap.
f.       Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga
g.      Menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
h.      Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

2.      Pelecehan Seksual
A.    Definisi Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara Etiologi dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.
Pelecehan seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual yang merugikan atau membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu. Atau bisa juga diartikan setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai onjek perhatian seksual yang tidak diinginkannya.
Mboek (dalam Basri, 1994) mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan perbuatan yang biasanya dilakukan oleh pria dan ditujukan kepada wanita dalam bidang seksualitas yang tidak disukai oleh wanita. Sebab ia merasa terhina, tetapii kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruknya.
Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin yang diganggunya.




B.     Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual
Pekecehan seksual mencakup perilaku menetap, berbicara mengenai seksualitas, menyentuh tubuh perempuan, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan, mengajak kencan berulang kali hingga melakukan pemerkosaan (Matlin,1987).
Selain itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan seksual (Coller,1992) adalah sebagai berikut :
a.       Menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan.
b.      Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan tersebut.
c.       Mempertunjukan gambar-gambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar porno kepada orang yang tidak menyukainya.
d.      Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian atau gaya seseorang.
e.       Menyentuh, menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memekuk seseorang yang tidak menyukai pelukan tersebut.
f.       Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya.

C.    Penyebab Pelecehan Seksual
Secara umum tentang penyebab pelecehan seksual menurut (Coller,1992 dibagi menjadi lima bagian yaitu :
a.      Pengalaman pelecehan seksual dari faktor biologik
Dikarenakan meilhat kecenderungan bilogiknya, bahwa lelaki itu berperilaku sebagai seks yang aktif ofensif (dalam fungsi reproduktifnya untuk mencari dan membuahi lewat suatu aktivitas yang relatif cuma sesaat) dan perempuan itu pelaku seks yang pasif-defensif (dalam funsgsi reproduktifnya untuk menunggu, dan selanjutnya menumbuh kembangkan kehidupan baru didalam rahim dan dipangkunya lewat suatu aktivitas dan proses yang berjangka panjang). Oleh karena itu, dalam kasuss pelecehan seksual bolehlah diduga bahwa lelaki yang berkemungkinan besar sebagai “pelaku jahatnya”. Sedabngkan perempuan itulah yang lebih berkemungkinan untuk diposisikan sebagai korbannya.

b.      Peristiwa pelecehan seksual dari faktor sosial budaya
            Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani seseorang sejak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari berpengaruh terhadap pola tingkah laku seseorang kemudan dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya realita bahwa fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan telah turut mempengaruhi pola piki, sikap dan tingkah laku lelaki terhadap perempuan dan sebaliknya.
Selain itu, budaya pun mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini didasarkan peran jenis kelamin atau social-reole stereotype, dimana dengan kebudayaan Indonesia yang partiakal tersbeut menempatkan lakilaki pada superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan timbulnya pelecehan sampai timbulnya pelecehan seksual.

c.       Pengaruh  pendidikan terhadap pelecehan seksual
Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Khususnya di Indonesia, perempuan belum banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap dan anggapan yang diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini terjadi, biasanya dengan keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahannya. Dimana, perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada laki-laki

d.      Keluarga dilihat dari faktor ekonomi
Pada masyarkat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas (dalam artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya hinga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan sebagai jalan kelaurnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Hal ini dilakukan dengan anggapan sebagai pelarian yang paling mudah mengingat adanya anggapan bahwa secara fisik perempuan lemah.



e.       Timbulnya pelecehan seksual yang diambil dari faktor oembelajaran sosial dan motivasi
Dengan adanya pnegkondisian tingkah laku yang dianggap disetujui secara sosial budayaseperti yang telah dikemukakan diatas, maka pengkondisian tingkah laku tersebut dianggap disetujui untuk tetap dilakukan dalam masyarakat. Hal ini mengingat bahwa hukum yang menindak dengan tegas kasus-kasus pelecehan seksual

D.    Dampak Pelecehan Seksual
Menururt Coller (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada :
a.       Frekuensi terjadi pelecehan : semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan.
b.      Parah tidaknya (halus atau kasar, taraf) : semakin [parah tindakan pelecehan seksual dan semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seserang, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan,apalagi jika menangkut keluarga korban.
c.       Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal :semakin tindakan pelecehan ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dengan ancaman pemecatan dan korban tidak yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikolgis akan lebih besar.
d.      Apakah mengganggu kinerja pekerja : bila ya, maka akan disertai dengan rasa frustasi. Ini tentunya juga tergantung seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan semakin parah kerusakan psikologisnya.
Secara umum, menururt Kellv (1998) dampak itama psikolgois pelecehan seksual yang paling sering terlihat adalah :
a.       Jengkel, senewen, marah, stress hingga breakdown
b.      Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri
c.       Kehilangan rasa percaya diri
d.      Merasa Berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab
e.       Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku.

E.     Pencegahan Pelecehan eksual




















BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Analisis pelaku ASN asal Mojokerto yang melakukan pelecehan seksual terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun.
1.      Penyebab seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
Sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil memiliki akhlak dan budi pekerti yang tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan dalam pelaksanaannya setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan ketentuan perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas.
Dalam konteks ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan aset Negara sehingga mereka harus memposisikan sebagai abdi negara sekaligus menjadi kaki tangan negara dalam melayani publik dan sebagai seseorang yang layak untuk dijadikan contoh oleh masyarakat dalam berprilaku sehari-hari ASN harus memiliki rasa tanggung jawab baik dalam sisi formal maupun tanggung jawab moral. Secara filosofi masyarakat adalah pemegang kedaulatan negara yang tertinggi, oleh karena itu fungsi pelayanan yang menjadi tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat melalui ASN. Namun yang menjadi persoalan apakah sudah berfungsi dengan baik, sudah efektif, efisien, ekonomis, etis, akuntabel, adil, dan menjamin partisipasi seluruh masyarakat atau tidak. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan -berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Walaupun tidak semua dari kasus tersebut dilakukan oleh ASN, namun tidak sedikit ASN yang melakukan pelanggaran dengan pelecehan seksual. (sumber: http://www.bbc.com/indonesia/ pada 23 November 2016)
Pengertain pelecehan seksual pada anak terjadi karena adanya segala perlakuan seksual yang dilakukanoleh orang dewasa kepada siapapun yang berusia dibawah 18 tahun. Selain ini pelaku seksual pada anak ini biasanya dilakukan oleh yang lebih tua namun pada kenyataannya saat ini pelaku seksual bisa dilakukan pada usia anak-anak itu sendiri dengan melibatkan beberapa kelompok orang yang dilakukan terhadap satu orang.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab sesorang melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap anak antara lain sebagai berikut:
1)      Riwayat pelecehan seksual masa lalu yaitu adanya tindakan yang pernah dialami oleh orang tersebut sehingga ada keinginan untuk melakukan perbuatan yang sama terhadap orang lain
2)      Keluarga yang tidak harmonis yang menimbulkan rasa kurang kasih sayang sehingga melampiaskan permasalahan kepada orang lain
3)      Kelainan seksual dari pelaku yang menyebabkan selalu ingin melakukan perbuatan untuk menyalurkan hasrat seksualnya
4)      Kontrol dan pengawasan terhadap anak yang sangat kurang baik dalam bermain dirumah, diluar rumah atau di sekolah
5)      Penggunaan media televisi, internet dan buku yang tidak terkontrol dan berlebihan khususnya yang menampilkan beberapa tayangan, gambar dan akses yang yang tidak boleh dilihat oleh anak-anak
6)      Pengaruh lingkungan yaitu berada ditengah-tengah kehidupan yang serba bebas, baik dalam berperilaku, bergaul, dan berpakaian
Pergaulan sehari-hari dan lingkungan juga mempengaruhinya, bagaimana kita berinteraksi dan dengan siapa kita menghabiskan waktu serta berinteraksi sosial setiap harinya. Namun secara umunya faktor pemerkosaan itu terjadi apabila di lihat dari motif pelakunya adalah :
1)      Sadistic Rape, pemerkosaan yang dilakukan secara sadis, yang mana si pelaku akan merasa mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh.         Namun mendapatkan kepuasan dari cara penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatkan dalam hubungan seksual secara normal
2)      Anger rape , Pemerkosaan yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa marahnya pada korban. Kepuasan seksual bukan tujuan utama yang diharapkan pelaku. namun sekedar untuk melampiaskan rasa marahnya pada korban.
3)      Domination Rape, Pemerkosaan ini hanya ingin menunjukan dominasinya pada korban dan pelaku hanya ingin menguasai korban secara seksual. misalnya pemerkosaan majikan terhadap pembantunya.
4)      Exploitation Rape, pemerkosaan yang terjadi karena ada rasa ketergantungan korban terhadap pelaku baik secara ekonomi maupun sosial. Dan biasa kasus ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap korban. contohnya atasan terhadap bawahanya, majikan terhadap pembantunya. 
5)      Seductive Rape, Pemerkosaan terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahinya dan biasanya pemerkosaaan ini terjadi pada mereka yang sudah saling mengenal. Contohnya pemerkosaan oleh pacar, keluarga, teman atau orang-orang terdekat lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh Hadi Ikhwan, (50) oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) Kabupaten Mojokerto pelaku pencabulan terhadap ADC (8).
Kemudian usaha (Holmes dan Holmes, 2002) memperluas jenis pelaku dan profil psikologis mereka. Mereka dibagi jadi:
1)   Situasional, tidak suka anak-anak, tapi menyinggung dalam kondisi tertentu.
2)   Kemunduran, biasanya memiliki hubungan dengan orang dewasa, tetapi karena stres menyebabkan mereka untuk mencari anak-anak sebagai pengganti.
3)   Secara moral indiskriminasi, semua yang disekitar penyimpangan seksual, yang mungkin melakukan pelanggaran seksual lainnya yang tidak terkait dengan anak-anak.
4)   Naif/tidak memadai , seringkali cacat mental dalam beberapa cara, menemukan anak-anak yang kurang mengancam.
5)   Istimewa,memiliki minat seksual yang sebenarnya pada anak-anak.
6)   Penyerangan, tindakan yang sadis dan melakukan tindak kekerasan, sasaran orang asing lebih sering daripada kenalan.
7)   Terpaku, sedikit atau tidak ada kegiatan dengan usianya sendiri, digambarkan sebagai "anak yang tumbuh terlalu cepat".

Dengan beberapa penjelasn diatas yang menjelaskan tentang bagaimana pelaku mempunyai beberapa faktor yang menyebabkan diri seseorang untuk melakukan pelecehan seksual, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab kasus pelecehan sebagian besar disebabkan dari dalam diri seseorang. Karakter yang merupakan mentalitas yang dibangun atas dasar intelektual dan mental akan membentuk jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia. Mentalitas sebagai suatu kompleksitas sifat-sifat sekelompok manusia menonjolkan karakter tertentu yang diwujudkan pada sikap atau gaya hidup tertentu, karakter masyarakat atau tokoh tertentu harus dilihat dari konteks budaya yang melatarbelakanginya karena karakter pada hakikatnya adalah identitas dari suatu masyarakat yang lazim berkaitan dengan kepribadian.
Krisis moral ASN yang terjadi saat ini semakin menjadi-jadi, semisal dalam kasus Hadi Ikhwan (50), PNS di Dinas Pekerjaan Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) Kabupaten Mojokerto yang telah mencabuli ADC yang masih duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar. Peristiwa pencabulan ini terjadi pada bulan April lalu. Saat itu, korban dititipkan kepada tetangganya, karena ibu korban sedang bekerja di luar kota. Oleh tetangganya, korban diajak ke rumah pelaku, untuk sebuah urusan dagang. Di rumah pelaku, korban dibawa ke kamar mandi dan dicabuli pelaku.(sumber: Surabayanews.com pada 23 November 2016) Ironisnya adalah ketika pelecehan seksual ini dilakukan oleh ASN yang seharusnya menjadi panutan bagi masyrakat dan menjadi pelayan masyarakat justru malah melakukan sesuatu yang tercela.
Prilaku tercela oknum ASN tersebut sudah menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral yang tertuang dalam kode etik ASN maupun nilai-nilai moral yang sudah menjadi konsekuensi bagi setiap orang semakin menurun. Penjelasan mengenai faktor pendorong terjadinya kasus pelecehan seksual berasal dari faktor internal atau dari dalam diri seorang seseorang harus menjadi pembelajaran bersama, karena sering kali terjadi karena pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah terbentuk secara masif, sistem matis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan tersebut, sungguh ironis ketika ada aparatur yang tidak mau mengikuti penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam lingkungan pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum serta pembentukan karakter aparatur yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang dijumpainya.
Kinerja tinggi dan mengutamakan pelayanan publik merupakan representasi dari kesadaran dan pemahaman akan misi dan visi organisasi dengan nilai-nilai etis yang ditentukan. Sempurnanya suatu tugas atau fungsi (baik individu maupun organisasi) mutlak ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan pengetahuan dan wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude). Ketiga domain inilah yang mutlak dimiliki oleh aparatur sipil negara yang lazim disebut kompetensi pegawai guna mencapai kinerja yang diinginkan. Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta normanorma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah
Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan suatu proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku birokrasi pelayan publik baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam pelaksanaan kode etik tersebut, birokrasi publik harus bersikap terbuka, transparan, dan akuntabel, untuk mendorong penga- malan dan pelembagaan kode etik tersebut. Dalam hubungannya dengan pelayanan kepada masyarakat birokrasi publik jangan mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan selaku pelayan publik, yang manifestasinya antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”; “mendorong, bukan menghambat”; “mempermudah, bukan mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit-belit”. Standar etika pelayanan publik yang diperlukan di sini adalah pemenuhan atau peruwujudan nilai-nilai atau norma- norma sikap dan perilaku birokrasi publik dalam setiap pelayanan dan tindakannya, yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa birorasi pelayan publik sama sekali tidak memiliki standar etika pelayanan, akan tetapi dimensi pelaksanaan etika tersebut mungkin yang perlu ditingkatkan.

2.      Dampak seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
Dampak pelecehan seksual terhadap anakanak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka panjang untuk anak korban pelecehan tersebut, termasuk psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresigangres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makanrasa rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan; gangguan psikologis yang umum seperti somatisasisakit sarafsakit kronis, perubahan perilaku seksual, masalah sekolah/belajar; dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarangperilaku menyakiti diri sendirikekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri.
Selama ini, posisi ASN  sebagai  salah satu tulang punggung penyelenggara negara, masih sering  mendapat sorotan negatif akibat kemerosotan mental baik etika maupun moral yang ditunjukan dengan kurang optimalnya dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakatsehingga kinerja birokrasi ASN  mendapatkan beberapa penilaian buruk dari masyarakat. Selain banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme  (KKN)   yang terjadi di kalangan aparatur pemerintahan,  krisis etika dan moral berupa pelecehan seksual ini juga merupakan bagian fakta yang tidak dapat dipungkiri yang pada akhirnya berdampak pada semakin menurunnya  kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (public trust).
Dampak yang lebih luas terhadap kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh ASN kepada anak adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan (trust), baik dalam bentuk sosial maupun politik, adalah sineqna non (syarat mutlak) pemerintahan yang baik. Tata pemerintahan yang baik dan kepercayaan yang saling membutuhkan satu sama lain, kepercayaan menumbuhkan tata pemerintahan yang baik karena kepercayaan merupakan prasyarat bagi tata kelola pemerintahan yang demokratis, dan pentingnya hubungan sosial kemasyarakatan antara kepercayaan dan pemerintahan yang baik melibatkan utamanya membangun dan memelihara semangat masyarakat sipil. Dalam masyarakat dimana orang tidak percaya satu sama lain dan memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang berarti dalam jaringan assosiasi sosial.
Salah satu fungsi yang harus terus menerus dibangun oleh pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik adalah harus lebih banyak memberi pelayanan kepada rakyatnya untuk membangun kepercayaan, keharmonisan, stabilitas dan integritas. Peran pemerintah lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan dan bukan memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri Kepuasan masyarakat dapat menimbulkan kepercayaan kepada pemerintah. Dalam praktek pemerintahan dengan adanya kepercayaan rakyat dan swasta kepada pemerintah, kebanyakan rakyat lebih dulu memberikan apresiasi atas pelayanan pemerintahnya. Dalam perkembangannya, pelayanan masyarakat ternyata bukan sekedar pelayanan dasar saja, namun pelayanan yang lebih luas menyangkut berbagai kepentingan pengguna hasil dan penerima pelayanan. Dari pengalaman emperik, perluasan jangkauan target pelayanan dan sistem pelayanan diharapkan akan menumbuhkan kreativitas pemerintah yang responsif dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggung-jawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kemenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Ia diperlukan karena aparatur pemerintah harus mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya kepada publik dan organisasi tempat kerjanya. Akuntabilitas sebagai persyaratan mendasar untuk mencega penyalagunaan kewenangan yang didelegasikan dan menjamin kewenangan diarahkan pada pencapaian tujuan nasional yang diterima secara luas dengan tingkat efisiensi, efektivitas, kejujuran, dan kepercayaan. Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dan dapat melahirkan kepercayaan masyarakat. Jadi setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat, demikian pula unsur-unsur non pemerintah dituntut untuk mempertanggung-jawabkan semua aktivitas sehubungan dengan keikutsertaan mereka dalam pengelolaan pemerintahan
Dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, harus diawali dengan mewujudkan penyelenggara pemerintahan yang baik dan berintegritas karena pemerintahan memang tidak akan lepas dari penyelenggaranya yang dalam konteks ini termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Kinerja yang baik dari ASN tidak hanya didukung oleh  prestasi kerja, kreasi dan inovasinya tetapi juga didukung oleh kondisi mental moralnya yang baik yang diaktualisasikan dalam bentuk  ketekunan, kejujuran, keikhlasan, kedisiplinan, kerjasama, semangat kerja, dan motivasi berprestasinya karena mampu menemukan potensi dan mengenali kemampuan diri sendiri.
Oleh karena itu, dengan adanya dampak yang paling signifikan tersebut seharusnya pemerintah merespon dengan kebijakan strategis dan dibuktikan dengan program aksi yang menyentuh hati dan nurani  aparatur negara sehingga para aparatur negara memiliki niat dan inisiatif untuk melaksanakan kebijakan strategis atau program aksi tersebut agar mampu mengembalikan public trust.

3.      Pencegahan terjadinya seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
1)      Pencegahan melalui peraturan perundang-undangan
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 2014 pasal 5 ayat 2 kode etik dan kode perilaku pengaturan Pegawai ASN sebagai berikut :
a)      Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.
b)      Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin.
c)      Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
d)     Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e)      Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.
f)       Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.
g)      Menggunakan kekayaan dan barang milik negara sevara bertanggung jawab, efektif, dan efisien.
h)      Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan melaksanakan tugasnya.
i)        Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan.
j)        Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain.
k)      Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN.
l)        Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.

Sedangkan  berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil :
1. Etika pegawai ASN dalam bermasyarakat meliputi :
1)      Mewujudkan pola hidup sederhana.
2)      Memberikan pelayanan dengan empati, hormat, dan santun , tanpa pamrih serta tanpa unsur paksaan.
3)      Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif.
4)      Tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat.
5)      Berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.


2.     Etika pegawai ASN terhadap diri sendiri meliputi :
1)      Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
2)      Bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
3)      Memiliki daya juang tinggi.
4)      Memelihara kesehatan jasmani dan rohani.
5)      Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap.
6)      Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga
7)      Menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
8)      Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.
Kunci dari semua proses tersebut diatas dalam membangun Administrasi adalah terletak pada Aparatur Sipil Negara yang mempunyai kualitas etika dan moral yang baik dan didukung oleh kompetensi dalam bidangnya masing-masing. Inilah salah satu pertimbangan kenapa UU ASN ini dibuat, selain itu juga sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.
Rekonstruksi kultural dalam rangka melindungi penyingkap kasus penyelewengan ASN di lingkungan birokrasi dapat dilakukan dengan cara penegakkan kode etik adalah tatanan etika yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Ia merupakan suatu bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian kode etik adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Fungsi dari kode etik profesi adalah untuk
a)   memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan,
b)   sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
2.      Dilakukan perubahan pola pikir PNS
Jika menghendaki perubahan besar dan mendasar,garaplah Mindset Anda (Carol S. Dweck, PH.D, 2007). Program Mind Setting telah dijadikan standar Modul Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, tahun 2003. Kepercayaan masyarakat terhadap PNS yang menurun akibat korupsi, malas, tidak produktif, kurang memberikan pelayanan, etos kerja rendah dan lain-lain membutuhkan reformasi/perubahan Pola Pikir yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat. Salah satu wujud dari perubahan pola pikir bagi PNS dapat dimulai dari 5 (lima) pilar dasar seperti yang tertuang dalam Fifth Diciplin (PetterM Senge), yaitu: Personal Mastery, Mental Model, Share Vision, Learning Organization dan System Thinking.

3.      Cara-cara untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak :
1.      Orang tua membuka komunikasi dan menjalin kedekatan emosi dengan anak-anak. Dengan cara menyempatkan diri untuk bermain bersama anak-anak.
2.      Orang tua disarankan memberikan pengertian kepada anak-anak tentang tubuh mereka dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya. Misalnya, anak diberi pengertian bahwa kalau ada orang lain yang mencium misal di pipi harus hati-hati karena itu tidak diperbolehkan, apalagi orang lain itu yang tidak dikenal.
3.      Kenalkan kepada anak perbedaan antara orang asing, kenalan, teman, sahabat, dan kerabat. Misalnya, orang asing adalah orang yang tidak dikenal sama sekali. Terhadap mereka, si anak tak boleh terlalu ramah, akrab, atau langsung memercayai. Kerabat adalah anggota keluarga yang dikenal dekat. Meski terhitung dekat, sebaiknya sarankan kepada anak untuk menghindari situasi berduaan saja.
4.      Jika sang anak sudah melewati usia balita, ajarkan bersikap malu bila telanjang. Dan, bila sudah memiliki kamar sendiri, ajarkan pula untuk selalu menutup pintu dan jendela bila tidur.
5.      Adanya keterlibatan aparat penegak hukum yakni penyidik, jaksa dan hakim dalam menangani kasus pelecehan seksual pada anak sehingga berperspektif terhadap anak diharapkan dapat menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana pelecehan sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual sanksi yang diberikan para PNS yang melakukan pelanggaran berat sesuai PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Antara lain yakni penurunan dari jabatan kepegawaian, penundaan kenaikan pangkat hingga pemecatan.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Kesimpulan
  2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
4.      Kelompok Buku Lain
Coller Edward, Pelecehan Seksual, cet ke-1, Yogyakarta: PT Gloria Usaha Mulia,1992.
Wagiati Seotdojo, Hukum Pidana Anak,  Bandung : PT Refika Adiatama, 2006.
ABRI
Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung : Pustaka, 1984.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
James, Jennifer, 1996, Thinking in The Future Tense, Jennifer James Inc.
Lukman, Sampara, 1999, Manajemen Kualitas Pelayanan, STIALAN Press,
Jakarta.
Senge, P. (1990). The Fifth Discipline. New york: Doubleday/ Currency.

5.      Kelompok Undang-undang

Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. (diunduh 24 November 2016 12:45 WIB)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tenttang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. (diunduh 24 November 2016 13:00 WIB)

6.      Internet
Eko Budianto. (2016, 27 Oktober). PNS di Mojokerto divonis 5 Tahun Penjara terbukti cabuli Gadis SD. Detikcom (Online). Tersedia : http://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3330978/pns-di-mojokerto-divonis-5-tahun-penjara-terbukti-cabuli-gadis-sd [Diakses 23 November 2016 07:00 WIB}





           

Komentar

  1. KISAH CERITA SAYA ~ SUKSES JADI PNS


    Assalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Islam dan Masyarakat Madani

Peran Teori Struktural Fungsional pada Fungsi Pengawasan di Inspektorat Daerah