Peran Teori Struktural Fungsional pada Fungsi Pengawasan di Inspektorat Daerah

Peran Teori Struktural Fungsional
pada Fungsi Pengawasan di Inspektorat Daerah


A.      Asumsi Dasar

Aliran fungsional strukturalisme berkembang di Inggris, dan kemudian di Amerika pada abad ke-18 yang kemudian menjadi satu madzhab dan sebuah sudat pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.  
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk ‎dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ‎ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur ‎yang berada di luar diri pengamat.‎
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

B.      Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh-tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-konsep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dalamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiris, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya.

C.      Paradigma AGIL

Talcott Parsons (1902-1979) mensistemasi rumusan-rumusan terdahulu tentang pendekatan fungsionalis terhadap sosiologi. Parsons mengawali dari masalah aturan yang dikemukakan filsuf terdahulu Thomas Hobbes (1585-1679). Hobbes mengatakan bahwa manusia mungkin secara alamiah saling mencakar satu sama lain kecuali jika dikontrol dan dikekang secara sosial.
Berpijak dari pandangan itu, Parsons mengembangkan Teori Sistem (1951) yang menguraikan panjang lebar tentang apa yang disebut prasyarat fungsional bagi keberlangsungan sebuah masyarakat.
Paradigma AGIL adalah salah satu teori Sosiologi yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons menguraikan dalam bukunya The Social System pada sekitar tahun 1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil dan bertujuan untuk membuat persatuan pada keseluruhan sistem sosial. Teori Parsons dan Paradigma AGIL sebagai elemen utamanya mendominasi teori sosiologi dari tahun 1950 hingga 1970.
AGIL merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance, meskipun demikian tidak terdapat skala prioritas dalam pengurutannya.
a)           Adaptation (adaptasi), bagaimana sebuah sistem beradaptasi dengan lingkungannya. Konsep ini dikaitkan dengan faktor ekonomi.
b)   Goal Attainment (pencapaian tujuan), menentukan tujuan yang kepadanya anggota masyarakat diarahkan. Konsep ini dikaitkan dengan faktor politik.
c)           Integration (integrasi), kebutuhan untuk mempertahankan keterpaduan sosial. Konsep ini dikaitkan dengan faktor sosial.
d)   Laten-Pattern Maintenance (pemeliharaan pola), sosialisasi atau reproduksi masyarakat agar nilai-nilai tetap terpelihara. Konsep ini dikaitkan dengan faktor budaya.

D.      Pengaruh Fungsional Struktural dalam Kehidupan Sosial

Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
1.      Pencarian pemuasan psikis.
2.      Kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis.
3.      Kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
4.      Usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural“.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.

E.      Teori dan Penerapannya pada Fungsi Pengawasan

Beberapa tokoh utama pengembang dan pendukung teori Struktural Fungsional pada zaman modern ini bisa disebut antara lain Talcott Parsons, Robert K. Merton dan Neil Smelser. Teori Struktural Fungsional dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mendasarkan pada tujuh asumsi ( Lauer, 1977 ).
1.      Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi.
2.      Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat timbal balik.
3.      Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, dimana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.
4.      Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karena itu senantiasa menimbulkan ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan. Tetapi ketegangan dan penyim-pangan tersebut akan dinetralisir lewat proses pelembagaan.
5.      Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian.
6.      Perubahan adalah merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi.
7.      Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.

Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda, ada pada setiap masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat primitif. Misalnya, instansi pemeriksaan dan pengawasan di lingkup pemerintahan daerah mempunyai fungsi untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas atas pengeleloaan keuangan, pembangunan serta kinerja aparat pemerintah daerah.  Lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai-nilai yang ada kepada generasi baru. Lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lembaga ekonomi memilki fungsi untuk mengatur proses produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa di masyarakat. Lembaga politik berfungsi menjaga tatanan sosial agar berjalan dan ditaati sebagaimana mestinya. Lembaga keluarga berfungsi menjaga keberlangsungan perkembangan jumlah penduduk.
Kesemua lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi dan satu sama lain akan melaksanakan penyesuaian sehingga di masyarakat akan senantiasa berada pada keseimbangan.
Sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), Inspektorat Daerah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis. Pertama, ditinjau dari aspek fungsi-fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah. Dari segi fungsi-fungsi dasar manajemen, ia mempunyai kedudukan yang setara dengan fungsi perencanaan atau fungsi pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah, Inspektorat Daerah menjadi pilar yang bertugas sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Kedua, melihat tuntutan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, adil, transparan, dan akuntabel harus disikapi dengan serius dan sistematis. Segenap jajaran penyelenggara negara, baik dalam tatanan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus memiliki komitmen bersama untuk menegakkan good governance dan clean government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan sasaran untuk meningkatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat dengan arah kebijakan penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).
Dengan adanya komitmen pemerintah untuk mewujudkan good governance khususnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, maka kinerja atas penyelenggaraan organisasi pemerintah menjadi perhatian pemerintah untuk dibenahi, salah satunya melalui sistem pengawasan yang efektif di Inspektorat daerah sebagai
pengawas Intern yang melakukan tugas pada kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
Salah satu faktor utama yang dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan pengendalian Intern adalah efektivitas peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Untuk itu, APIP harus terus melakukan perubahan dalam menjalankan proses bisnis guna memberi nilai tambah bagi kementerian negara/lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan dengan peran pengawasan intern untuk mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi. APIP juga mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Peran Inspektorat Daerah sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah.
Inspektorat Daerah sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah berperan sebagai Quality Assurance yaitu menjamin bahwa suatu kegiatan dapat berjalan secara effisien, effektif dan sesuai dengan aturannya dalam mencapai tujuan organisasi. Titik berat pelaksanaan tugas pengawasannya adalah melakukan tindakan preventif yaitu mencegah terjadinya kesalahan kesalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan oleh SKPD serta memperbaiki kesalahan kesalahan yang telah terjadi untuk dijadikan pelajaran agar kesalahan kesalahan tersebut tidak terulang di masa yang akan datang.

F.      Proses Pelemahan Fungsi pengawasan Inspektorat Daerah bertentangan dengan Teori Struktural Fungsional

Salah satu program yang dlaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah melakukan pembinaan intensif atas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada Inspektorat daerah, dengan memfasilitasi pembinaan dan pembentukan Jabatan Fungsional Auditor, Pendidikan dan Pelatihan, serta pemberian bantuan beasiswa untuk pendidikan bagi PNS (lingkup inspektorat dan pengelola keuangan daerah). Namun, hal tersebut sangat ironis jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di tingkat kabupaten/kota, terjadinya pelemahan akan fungsi pengawasan pada Inspektorat daerah dengan menjadikan aparat pengawas dan pemeriksaan menjadi obyek politik, proses mutasi atau penempatan pada Inspektorat daerah yang tidak sesuai dengan proporsinya, pemangkasan anggaran pemeriksaan dan pengawasan pada program non fisik, sampai pada mengalihkan tugas dan peran APIP pada Inspektorat daerah dengan alasan untuk memaksimalkan peran dan tugas SKPD lainnya.
Dikhawatirkan hal tersebut jika berlanjut secara terus-menerus, akan mengakibatkan kehilangan fungsi pada Inspektorat daerah, dan akan menjadikan kondisi yang tidak seimbang pada pengelolaan pemerintahan di daerah. Fungsi Inspektorat yang sarat dengan kepentingan pihak tertentu dan golongan tertentu akan mengurangi obyektifitas dan independensinya sebagai organisasi yang vital dan strategis.
Kurangnya pemahaman dan kesadaran pihak-pihak tertentu yang menjadi pengambil kebijakan menjadi tantangan bagi APIP sebagai profesi dan Inspektorat Daerah sebagai organisasi/lembaga untuk meningkatkan perannya dan membuktikan bahwa keberadaan Inspektorat Daerah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan instansi lainnya, bahkan dibutuhkan sinergitas dan menjadikannya mitra strategis untuk memberi kontrol internal sehingga tatanan pemerintahan dapat berjalan seimbang, baik, dan sesuai nilai-nilai yang diharapkan.
Teori fungsional struktural yang banyak dijadikan pandangan bagi pengelolaan sebuah negara dan pemerintahannya untuk mengatur suatu pola interaksi maupun relasi antar lembaga/organisasi maupun antar masyarakatnya bukanlah hal yang baru lagi didalam dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata. Secara singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan rantai sosiologi manusia, didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit ataupun melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.

Referensi :

Beilharz, Peter. (2002) Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar ; Yogyakarta.

http://debrianruhut.blogspot.com/2013/05/mengenal-lebih-dalam-fungsi-dan-peran-BPKP-HUT-ke-30.html

Syam, Nur. (2007) Madzhab-Madzhab Antropologi. LkiS ; Yogyakarta.

Zamroni. (1992) Pengantar Pengembangan Teori Sosial. PT. Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Islam dan Masyarakat Madani