Pencegahan terjadinya seorang ASN melakukan pelecehan seksual
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Persoalan
etika dan moral memang masih menjadi suatu permasalahan yang sulit diperbaiki
di negeri ini. Hal ini menjadi sangat kompleks ketika banyak terjadi kasus yang
melanggar etika dan moral di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Pegawai
Negeri Sipil. Dewasa ini banyak terjadi kasus yang menjadi tren di kalangan
Pegawai Negeri Sipil mengenai kasus tindakan asusila atau melanggar etika dan
moral. Pegawai Negeri Sipil dianggap tidak lagi memiliki etika sebagai seorang
ASN (Aparatur Sipil Negara) ketika PNS tersebut melanggar kode etik PNS atau
aturan yang ada. Seharusnya kode etik atau aturan tersebut menjadi dasar
pertimbangan dan acuan dalam melakukan tindakan sebagai seorang Aparatur Sipil
Negara. Salah satu hal yang cukup populer mengenai permasalahan etika PNS di
Indonesia adalah adanya tren kasus pelecehan seksual kepada gadis dibawah umur yang
dilakukan secara masif.
Di berbagai negara terdapat perbedaan definisi
mengenai pelecehan seksual. Amerika mendefinisikan pelecehan seksual adalah
“kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut
dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada
dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik
yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi,
menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat
genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang
lebih umum untuk pelecehan seksual, yaitu “persetubuhan diluar perkawinan yang
dilarang yang diancam pidana” (sumber:
Diambil dari Skripsi yang ditulis oleh Dedy Pratama diakses dari http://eprints.upnjatim.ac.id/4002/1/file1.pdf pada 24 November 2016).
Dari definisi tesebut jelas bahwa tindakan pelecehan
seksual merupakan salah satu tindakan asusila yang melanggar etika dan moral,
apalagi kasus ini terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil dimana tidak asing
lagi bagi seorang PNS mengenai kode etik seorang PNS. Dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa KORPS
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan pada Pasal 11 mengenai Etika PNS
terhadap diri sendiri diantaranya adalah menjaga kesehatan jasmani dan ruhani
serta berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan. Dari kedua poin tersebut dapat
dilihat bahwa seorang pegawai Negeri Sipil yang melanggar etika dan moral
dengan melakukan pelecehan seksual telah melanggar Kode Etik PNS pada pasal
tersebut yaitu seorang PNS tidak bisa menjaga kesehatan ruhaninya karena telah
melanggar nilai-nilai dan norma agama, selanjutnya perbuatan pelecehan seksual
merupakan perbuatan yang tidak sopan bahkan lebih dari itu tindakan pelecehan
seksual ini dinilai sangat tidak pantas dan memalukan untuk dilakukan oleh
seorang Pegawai Negeri Sipil.
Salah satu kasus tindakan pelecehan seksual yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yaitu salah seorang PNS yang bekerja sebagai
pegawai di bagian kebersihan di Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang di daerah
Mojokerto, Jawa Timur. Korban dari tindakan pelecehan seksual yang dilakukan
oleh salah seorang PNS ini adalah tetangganya sendiri yaitu seorang gadis yang
masih berusia 8 tahun (sumber:
diakses dari http://news.okezone.com/read/2016/05/14/519/1388167/gemas-alasan-oknum-pns-di-mojokerto-lakukan-pelecehan
seksual diakses pada 24 November 2016). Hal ini membuktikan
bahwa bangsa Indonesia masih mengalami krisis moral dan semakin lunturnya
nilai-nilai dan norma yang dianut oleh bangsa Indonesia. Satu dari sekian
banyak kasus tindakan asusila yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah alarm
penting bahwa Indonesia perlu dan wajib melakukan sebuah perubahan untuk
memperbaiki moral serta menjunjung kembali nilai-nilai dan norma yang dianut
dan berkembang di seluruh masyarakat Indonesia.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dikemukakan diatas, masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Penyimpangan
kode etik ASN oleh seorang Aparatur Sipil Negara asal Mojokerto , ini terbukti
dar seorang pegawai ASN asal mojokerto melakukan tindakan pelecehan seksual
terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun.
2. Kurangnya
pembinaan nilai-nilai etika dan moral kepada pegawai ASN.
3. Merusak
reputasi ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
C.
Batas
Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis
membatasi masalah atau ruang lingkup penulisan pada hal yang mengenai krisis
moral dan etika Aparatur Sipil Negara di Indonesia sebagai berikut :
Analisis
pelaku pegawai ASN asal Mojokerto yang melakukan pelecehan seksual terhadap
gadis yang masih berusia 8 tahun.
D.
Rumusan
Masalah
1. Apa
penyebab seorang pegawai ASN asal Mojokerto melakukan tindakan pelecehan
seksual terhadap gadis yang masih berusia 8 tahun ?
2. Apa
saja dampak ketika seorang pegawai ASN melakukan tindakan pelecehan seksual ?
3. Bagaimanakah
solusi untuk mencegah terjadinya seorang pegawai ASN melakukan tindakan
pelecehan seksual ?
BAB II
KAJIAN PUSATAKA
1.
Aparatur
Sipil Negara
A.
Definisi
Aparatur Sipil Negara
Aparatur
Sipil Negara dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara dijelaskan bahwa yang termasuk Aparatur Sipil Negara
(ASN) adalah sebagai berikut :
1. Aparatur
Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri
sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah.
2. Pegawai
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai
negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang telah diangkat
oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan
atau diserahi negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
3. Pegawai
Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk
jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
B.
Kode
Etik Aparatur Sipil Negara
Berdasarkan
Undang-undang nomor 5 tahun 2014 pasal 5 ayat 2 kode etik dan kode perilaku pengaturan
Pegawai ASN sebagai berikut :
a. Melaksanakan
tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.
b. Melaksanakan
tugasnya dengan cermat dan disiplin.
c. Melayani
dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
d. Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika
pemerintahan.
f. Menjaga
kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.
g. Menggunakan
kekayaan dan barang milik negara sevara bertanggung jawab, efektif, dan
efisien.
h. Menjaga
agar tidak terjadi konflik kepentingan melaksanakan tugasnya.
i.
Memberikan informasi
secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi
terkait kepentingan kedinasan.
j.
Tidak menyalahgunakan
informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan dan jabatannya untuk mendapat
atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain.
k. Memegang
teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN.
l.
Melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.
Sedangkan berdasarkan peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik
pegawai negeri sipil :
1. Etika
pegawai ASN dalam bermasyarakat meliputi :
a. Mewujudkan
pola hidup sederhana.
b. Memberikan
pelayanan dengan empati, hormat, dan santun , tanpa pamrih serta tanpa unsur
paksaan.
c. Memberikan
pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif.
d. Tanggap
terhadap keadaan lingkungan masyarakat.
e. Berorientasi
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.
2.
Etika pegawai ASN terhadap diri sendiri
meliputi :
a. Jujur
dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
b. Bertindak
dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
c. Memiliki
daya juang tinggi.
d. Memelihara
kesehatan jasmani dan rohani.
e. Berinisiatif
untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap.
f. Menjaga
keutuhan dan keharmonisan keluarga
g. Menghindari
konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
h. Berpenampilan
sederhana, rapih, dan sopan.
2.
Pelecehan
Seksual
A.
Definisi
Pelecehan Seksual
Menurut
Collier (1992) pelecehan seksual secara Etiologi
dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi
sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan
sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.
Pelecehan
seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) adalah
segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang berhubungan dengan
dorongan seksual yang merugikan atau membuat tidak senang pada orang yang
dikenai perlakuan itu. Atau bisa juga diartikan setiap perbuatan yang memaksa
seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang
sebagai onjek perhatian seksual yang tidak diinginkannya.
Mboek
(dalam Basri, 1994) mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan perbuatan yang
biasanya dilakukan oleh pria dan ditujukan kepada wanita dalam bidang
seksualitas yang tidak disukai oleh wanita. Sebab ia merasa terhina, tetapii
kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruknya.
Dari
beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan,
dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap
pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin yang diganggunya.
B.
Bentuk-bentuk
Pelecehan Seksual
Pekecehan
seksual mencakup perilaku menetap, berbicara mengenai seksualitas, menyentuh
tubuh perempuan, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual
yang tidak diinginkan, mengajak kencan berulang kali hingga melakukan
pemerkosaan (Matlin,1987).
Selain
itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan seksual
(Coller,1992) adalah sebagai berikut :
a. Menggoda
atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan.
b. Menceritakan
lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan
tersebut.
c. Mempertunjukan
gambar-gambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar porno kepada
orang yang tidak menyukainya.
d. Memberikan
komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian atau gaya seseorang.
e. Menyentuh,
menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memekuk seseorang yang tidak
menyukai pelukan tersebut.
f. Perbuatan
memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya.
C.
Penyebab
Pelecehan Seksual
Secara
umum tentang penyebab pelecehan seksual menurut (Coller,1992 dibagi menjadi
lima bagian yaitu :
a. Pengalaman
pelecehan seksual dari faktor biologik
Dikarenakan
meilhat kecenderungan bilogiknya, bahwa lelaki itu berperilaku sebagai seks
yang aktif ofensif (dalam fungsi reproduktifnya untuk mencari dan membuahi
lewat suatu aktivitas yang relatif cuma sesaat) dan perempuan itu pelaku seks
yang pasif-defensif (dalam funsgsi reproduktifnya untuk menunggu, dan
selanjutnya menumbuh kembangkan kehidupan baru didalam rahim dan dipangkunya
lewat suatu aktivitas dan proses yang berjangka panjang). Oleh karena itu,
dalam kasuss pelecehan seksual bolehlah diduga bahwa lelaki yang berkemungkinan
besar sebagai “pelaku jahatnya”. Sedabngkan perempuan itulah yang lebih
berkemungkinan untuk diposisikan sebagai korbannya.
b. Peristiwa
pelecehan seksual dari faktor sosial budaya
Pola kehidupan sosial budaya yang
dijalani seseorang sejak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari
berpengaruh terhadap pola tingkah laku seseorang kemudan dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya realita bahwa fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan
telah turut mempengaruhi pola piki, sikap dan tingkah laku lelaki terhadap
perempuan dan sebaliknya.
Selain
itu, budaya pun mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan
seksual terjadi. Hal ini didasarkan peran jenis kelamin atau social-reole stereotype, dimana dengan
kebudayaan Indonesia yang partiakal tersbeut menempatkan lakilaki pada
superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan
timbulnya pelecehan sampai timbulnya pelecehan seksual.
c. Pengaruh pendidikan terhadap pelecehan seksual
Pendidikan
dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Khususnya di
Indonesia, perempuan belum banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap dan anggapan
yang diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini terjadi, biasanya dengan
keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai
bawahannya. Dimana, perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
daripada laki-laki
d. Keluarga
dilihat dari faktor ekonomi
Pada
masyarkat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas (dalam
artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya hinga realisasi
mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya
kekerasan sebagai jalan kelaurnya dan sasaran paling mudah adalah kaum
perempuan. Hal ini dilakukan dengan anggapan sebagai pelarian yang paling mudah
mengingat adanya anggapan bahwa secara fisik perempuan lemah.
e. Timbulnya
pelecehan seksual yang diambil dari faktor oembelajaran sosial dan motivasi
Dengan
adanya pnegkondisian tingkah laku yang dianggap disetujui secara sosial
budayaseperti yang telah dikemukakan diatas, maka pengkondisian tingkah laku
tersebut dianggap disetujui untuk tetap dilakukan dalam masyarakat. Hal ini
mengingat bahwa hukum yang menindak dengan tegas kasus-kasus pelecehan seksual
D.
Dampak
Pelecehan Seksual
Menururt
Coller (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada :
a. Frekuensi
terjadi pelecehan : semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang
ditimbulkan.
b. Parah
tidaknya (halus atau kasar, taraf) : semakin [parah tindakan pelecehan seksual
dan semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seserang,
semakin dalam pula luka yang ditimbulkan,apalagi jika menangkut keluarga
korban.
c. Apakah
secara fisik juga mengancam atau hanya verbal :semakin tindakan pelecehan ini
dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang
ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dengan ancaman pemecatan dan korban tidak
yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikolgis akan lebih besar.
d. Apakah
mengganggu kinerja pekerja : bila ya, maka akan disertai dengan rasa frustasi.
Ini tentunya juga tergantung seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu
kinerja korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf
frustasi dan semakin parah kerusakan psikologisnya.
Secara
umum, menururt Kellv (1998) dampak itama psikolgois pelecehan seksual yang
paling sering terlihat adalah :
a. Jengkel,
senewen, marah, stress hingga breakdown
b. Ketakutan,
frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri
c. Kehilangan
rasa percaya diri
d. Merasa
Berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab
e. Kebencian
pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis
kelamin yang sama dengan pelaku.
E.
Pencegahan
Pelecehan eksual
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Analisis
pelaku ASN asal Mojokerto yang melakukan pelecehan seksual terhadap gadis yang
masih berusia 8 tahun.
1.
Penyebab
seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
Sebagai unsur aparatur Negara dan abdi
masyarakat Pegawai Negeri Sipil memiliki akhlak dan budi pekerti yang tidak
tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan,
serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan dalam pelaksanaannya
setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib
memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan
Pemerintah. Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya
terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan perbuatan
Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas.
Dalam konteks ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan aset Negara sehingga mereka harus
memposisikan sebagai abdi negara sekaligus menjadi kaki tangan negara dalam melayani publik dan sebagai seseorang yang layak untuk dijadikan
contoh oleh masyarakat
dalam berprilaku sehari-hari ASN harus memiliki rasa tanggung jawab baik dalam sisi formal maupun
tanggung jawab moral. Secara filosofi masyarakat adalah
pemegang kedaulatan negara yang tertinggi, oleh karena itu fungsi pelayanan
yang menjadi tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat melalui ASN. Namun
yang menjadi persoalan apakah sudah berfungsi dengan baik, sudah efektif,
efisien, ekonomis, etis, akuntabel, adil, dan menjamin partisipasi seluruh
masyarakat atau tidak. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan
terhadap perempuan -berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut
didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra
Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus, angka kekerasan terhadap perempuan
meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Walaupun tidak semua dari kasus tersebut
dilakukan oleh ASN, namun tidak sedikit ASN yang melakukan pelanggaran dengan
pelecehan seksual. (sumber: http://www.bbc.com/indonesia/ pada 23
November 2016)
Pengertain pelecehan seksual pada
anak terjadi karena adanya segala perlakuan seksual yang dilakukanoleh orang
dewasa kepada siapapun yang berusia dibawah 18 tahun. Selain ini pelaku seksual
pada anak ini biasanya dilakukan oleh yang lebih tua namun pada kenyataannya
saat ini pelaku seksual bisa dilakukan pada usia anak-anak itu sendiri dengan
melibatkan beberapa kelompok orang yang dilakukan terhadap satu orang.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab sesorang melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap anak
antara lain sebagai berikut:
1)
Riwayat pelecehan seksual masa lalu
yaitu adanya tindakan yang pernah dialami oleh orang tersebut sehingga ada
keinginan untuk melakukan perbuatan yang sama terhadap orang lain
2)
Keluarga yang tidak harmonis yang
menimbulkan rasa kurang kasih sayang sehingga melampiaskan permasalahan kepada
orang lain
3)
Kelainan seksual dari pelaku yang
menyebabkan selalu ingin melakukan perbuatan untuk menyalurkan hasrat
seksualnya
4)
Kontrol dan pengawasan terhadap anak
yang sangat kurang baik dalam bermain dirumah, diluar rumah atau di sekolah
5)
Penggunaan media televisi, internet
dan buku yang tidak terkontrol dan berlebihan khususnya yang menampilkan
beberapa tayangan, gambar dan akses yang yang tidak boleh dilihat oleh
anak-anak
6)
Pengaruh lingkungan yaitu berada
ditengah-tengah kehidupan yang serba bebas, baik dalam berperilaku, bergaul,
dan berpakaian
Pergaulan sehari-hari dan lingkungan
juga mempengaruhinya, bagaimana kita berinteraksi dan dengan siapa kita
menghabiskan waktu serta berinteraksi sosial setiap harinya. Namun secara
umunya faktor pemerkosaan itu terjadi apabila di lihat dari motif pelakunya
adalah :
1) Sadistic
Rape, pemerkosaan
yang dilakukan secara sadis, yang mana si pelaku akan merasa mendapatkan
kepuasan seksual bukan karena bersetubuh. Namun mendapatkan kepuasan dari cara
penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatkan dalam hubungan seksual secara
normal
2) Anger rape ,
Pemerkosaan yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa marahnya pada korban.
Kepuasan seksual bukan tujuan utama yang diharapkan pelaku. namun sekedar untuk
melampiaskan rasa marahnya pada korban.
3) Domination
Rape, Pemerkosaan ini hanya ingin
menunjukan dominasinya pada korban dan pelaku hanya ingin menguasai korban
secara seksual. misalnya pemerkosaan majikan terhadap pembantunya.
4)
Exploitation Rape, pemerkosaan yang terjadi karena
ada rasa ketergantungan korban terhadap pelaku baik secara ekonomi maupun
sosial. Dan biasa kasus ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap
korban. contohnya atasan terhadap bawahanya, majikan terhadap pembantunya.
5) Seductive
Rape, Pemerkosaan terjadi karena pelaku merasa terangsang
nafsu birahinya dan biasanya pemerkosaaan ini terjadi pada mereka yang sudah
saling mengenal. Contohnya pemerkosaan oleh pacar, keluarga, teman atau
orang-orang terdekat lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh Hadi
Ikhwan, (50) oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas PU Cipta Karya dan Tata
Ruang (CKTR) Kabupaten Mojokerto pelaku pencabulan terhadap ADC (8).
Kemudian usaha (Holmes dan Holmes, 2002) memperluas jenis pelaku dan
profil psikologis mereka. Mereka dibagi jadi:
1) Situasional,
tidak suka anak-anak, tapi menyinggung dalam kondisi tertentu.
2) Kemunduran,
biasanya memiliki hubungan dengan orang dewasa, tetapi karena stres menyebabkan
mereka untuk mencari anak-anak sebagai pengganti.
3) Secara
moral indiskriminasi,
semua yang disekitar penyimpangan
seksual, yang mungkin melakukan pelanggaran seksual lainnya yang tidak terkait
dengan anak-anak.
4) Naif/tidak
memadai ,
seringkali cacat mental dalam beberapa cara, menemukan anak-anak yang kurang
mengancam.
5) Istimewa,memiliki
minat seksual yang sebenarnya pada anak-anak.
6) Penyerangan, tindakan
yang sadis dan melakukan tindak kekerasan, sasaran orang asing lebih sering
daripada kenalan.
7)
Terpaku, sedikit atau tidak ada kegiatan dengan
usianya sendiri, digambarkan sebagai "anak yang tumbuh terlalu
cepat".
Dengan beberapa penjelasn diatas yang
menjelaskan tentang bagaimana pelaku mempunyai beberapa faktor yang menyebabkan
diri seseorang untuk melakukan pelecehan seksual, maka dapat disimpulkan bahwa
penyebab kasus pelecehan sebagian besar disebabkan dari dalam diri seseorang. Karakter
yang merupakan mentalitas yang dibangun atas dasar intelektual dan mental akan
membentuk jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia. Mentalitas sebagai suatu
kompleksitas sifat-sifat sekelompok manusia menonjolkan karakter tertentu yang
diwujudkan pada sikap atau gaya hidup tertentu, karakter masyarakat atau tokoh
tertentu harus dilihat dari konteks budaya yang melatarbelakanginya karena
karakter pada hakikatnya adalah identitas dari suatu masyarakat yang lazim
berkaitan dengan kepribadian.
Krisis moral ASN yang terjadi saat ini
semakin menjadi-jadi, semisal dalam kasus Hadi Ikhwan (50), PNS di Dinas
Pekerjaan Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) Kabupaten Mojokerto yang
telah mencabuli ADC yang masih duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar. Peristiwa
pencabulan ini terjadi pada bulan April lalu. Saat itu, korban dititipkan
kepada tetangganya, karena ibu korban sedang bekerja di luar kota. Oleh
tetangganya, korban diajak ke rumah pelaku, untuk sebuah urusan dagang. Di
rumah pelaku, korban dibawa ke kamar mandi dan dicabuli pelaku.(sumber:
Surabayanews.com pada 23 November 2016) Ironisnya
adalah ketika pelecehan seksual ini dilakukan oleh ASN yang seharusnya menjadi
panutan bagi masyrakat dan menjadi pelayan masyarakat justru malah melakukan
sesuatu yang tercela.
Prilaku tercela oknum ASN tersebut sudah
menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral yang tertuang dalam kode etik ASN
maupun nilai-nilai moral yang sudah menjadi konsekuensi bagi setiap orang
semakin menurun. Penjelasan mengenai faktor pendorong terjadinya kasus
pelecehan seksual berasal dari faktor internal atau dari dalam diri seorang
seseorang harus menjadi pembelajaran bersama, karena sering kali terjadi karena
pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah terbentuk secara masif, sistem
matis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan
tersebut, sungguh ironis ketika ada aparatur yang tidak mau mengikuti
penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan
dalam lingkungan pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan
penegakan aturan hukum serta pembentukan karakter aparatur yang memiliki
integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap berani menolak korupsi terlebih lagi
berani melaporkan korupsi yang dijumpainya.
Kinerja tinggi dan mengutamakan
pelayanan publik merupakan representasi dari kesadaran dan pemahaman akan misi
dan visi organisasi dengan nilai-nilai etis yang ditentukan. Sempurnanya suatu
tugas atau fungsi (baik individu maupun organisasi) mutlak ditentukan oleh
tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan
teknis (skill) dan pengetahuan dan
wawasan (knowledge) saja belum cukup
memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau
tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan
perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).
Ketiga domain inilah yang mutlak dimiliki oleh aparatur sipil negara yang
lazim disebut kompetensi pegawai guna mencapai kinerja yang diinginkan. Adapun
perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima
norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta
normanorma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan
mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan
berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur
pemerintah
Untuk mewujudkan hal itu, maka
diperlukan suatu proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan
melalui pembudayaan kode etik (code of
ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan
ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan
perilaku birokrasi pelayan publik baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam
pelaksanaan kode etik tersebut, birokrasi publik harus bersikap terbuka,
transparan, dan akuntabel, untuk mendorong penga- malan dan pelembagaan kode
etik tersebut. Dalam hubungannya dengan pelayanan kepada masyarakat birokrasi
publik jangan mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah
peranan selaku pelayan publik, yang manifestasinya antara lain dalam perilaku
“melayani, bukan dilayani”; “mendorong, bukan menghambat”; “mempermudah, bukan
mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit-belit”. Standar etika pelayanan publik
yang diperlukan di sini adalah pemenuhan atau peruwujudan nilai-nilai atau
norma- norma sikap dan perilaku birokrasi publik dalam setiap pelayanan dan
tindakannya, yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa
birorasi pelayan publik sama sekali tidak memiliki standar etika pelayanan,
akan tetapi dimensi pelaksanaan etika tersebut mungkin yang perlu ditingkatkan.
2.
Dampak
seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
Dampak pelecehan seksual terhadap anakanak
dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka panjang untuk anak
korban pelecehan tersebut, termasuk psikopatologi di
kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya
meliputi depresi, gangres pasca trauma, kegelisahan,
gangguan
makan, rasa rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan;
gangguan psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, perubahan
perilaku seksual, masalah sekolah/belajar; dan masalah perilaku
termasuk penyalahgunaan
obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika
dewasa dan bunuh diri.
Selama ini, posisi ASN sebagai salah satu
tulang punggung penyelenggara negara, masih sering mendapat sorotan
negatif akibat kemerosotan mental baik etika maupun moral yang ditunjukan dengan kurang
optimalnya dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakatsehingga kinerja
birokrasi ASN mendapatkan beberapa penilaian buruk dari masyarakat. Selain banyaknya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di kalangan
aparatur pemerintahan, krisis etika dan moral berupa pelecehan seksual ini juga merupakan bagian fakta
yang tidak dapat dipungkiri
yang pada
akhirnya berdampak pada
semakin
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (public
trust).
Dampak yang lebih luas terhadap kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh ASN kepada anak adalah menurunnya
kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan (trust), baik dalam
bentuk sosial maupun politik, adalah sineqna non (syarat mutlak) pemerintahan
yang baik. Tata pemerintahan yang baik dan kepercayaan yang saling membutuhkan
satu sama lain, kepercayaan menumbuhkan tata pemerintahan yang baik karena
kepercayaan merupakan prasyarat bagi tata kelola pemerintahan yang demokratis,
dan pentingnya hubungan sosial kemasyarakatan antara kepercayaan dan
pemerintahan yang baik melibatkan utamanya membangun dan memelihara semangat
masyarakat sipil. Dalam masyarakat dimana orang tidak percaya satu sama lain
dan memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang berarti dalam jaringan
assosiasi sosial.
Salah satu fungsi yang harus terus
menerus dibangun oleh pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik adalah harus lebih banyak memberi pelayanan kepada rakyatnya untuk
membangun kepercayaan, keharmonisan, stabilitas dan integritas. Peran
pemerintah lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan dan bukan
memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri Kepuasan masyarakat
dapat menimbulkan kepercayaan kepada pemerintah. Dalam praktek pemerintahan
dengan adanya kepercayaan rakyat dan swasta kepada pemerintah, kebanyakan rakyat
lebih dulu memberikan apresiasi atas pelayanan pemerintahnya. Dalam
perkembangannya, pelayanan masyarakat ternyata bukan sekedar pelayanan dasar
saja, namun pelayanan yang lebih luas menyangkut berbagai kepentingan pengguna
hasil dan penerima pelayanan. Dari pengalaman emperik, perluasan jangkauan
target pelayanan dan sistem pelayanan diharapkan akan menumbuhkan kreativitas
pemerintah yang responsif dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk
memberikan pertanggung-jawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas
tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang
memiliki hak atau kemenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan
pemerintahan. Ia diperlukan karena aparatur pemerintah harus
mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya kepada publik dan organisasi
tempat kerjanya. Akuntabilitas sebagai persyaratan mendasar untuk mencega
penyalagunaan kewenangan yang didelegasikan dan menjamin kewenangan diarahkan
pada pencapaian tujuan nasional yang diterima secara luas dengan tingkat
efisiensi, efektivitas, kejujuran, dan kepercayaan. Akuntabilitas merupakan
salah satu prinsip dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dan
dapat melahirkan kepercayaan masyarakat. Jadi setiap pejabat publik dituntut
untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat, demikian pula unsur-unsur non
pemerintah dituntut untuk mempertanggung-jawabkan semua aktivitas sehubungan
dengan keikutsertaan mereka dalam pengelolaan pemerintahan
Dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih,
harus diawali dengan mewujudkan penyelenggara pemerintahan yang baik dan berintegritas karena pemerintahan memang tidak akan lepas dari
penyelenggaranya yang dalam konteks ini termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kinerja yang baik dari ASN tidak hanya didukung oleh prestasi kerja, kreasi dan inovasinya tetapi
juga didukung oleh kondisi mental moralnya yang baik yang diaktualisasikan
dalam bentuk ketekunan, kejujuran,
keikhlasan, kedisiplinan, kerjasama, semangat kerja, dan motivasi
berprestasinya karena mampu menemukan potensi dan mengenali kemampuan diri sendiri.
Oleh karena itu,
dengan adanya dampak yang paling signifikan tersebut
seharusnya pemerintah merespon dengan kebijakan strategis dan dibuktikan dengan
program aksi yang menyentuh hati dan nurani aparatur negara sehingga para aparatur
negara memiliki niat dan inisiatif untuk melaksanakan kebijakan strategis atau
program aksi tersebut agar mampu mengembalikan public trust.
3.
Pencegahan
terjadinya seorang ASN melakukan tindakan pelecehan seksual
1) Pencegahan
melalui peraturan perundang-undangan
Berdasarkan
Undang-undang nomor 5 tahun 2014 pasal 5 ayat 2 kode etik dan kode perilaku
pengaturan Pegawai ASN sebagai berikut :
a) Melaksanakan
tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.
b) Melaksanakan
tugasnya dengan cermat dan disiplin.
c) Melayani
dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
d) Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e) Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika
pemerintahan.
f) Menjaga
kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.
g) Menggunakan
kekayaan dan barang milik negara sevara bertanggung jawab, efektif, dan
efisien.
h) Menjaga
agar tidak terjadi konflik kepentingan melaksanakan tugasnya.
i)
Memberikan informasi secara
benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait
kepentingan kedinasan.
j)
Tidak menyalahgunakan
informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan dan jabatannya untuk mendapat
atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain.
k) Memegang
teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN.
l)
Melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.
Sedangkan berdasarkan peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik
pegawai negeri sipil :
1.
Etika pegawai ASN dalam bermasyarakat meliputi :
1) Mewujudkan
pola hidup sederhana.
2) Memberikan
pelayanan dengan empati, hormat, dan santun , tanpa pamrih serta tanpa unsur
paksaan.
3) Memberikan
pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif.
4) Tanggap
terhadap keadaan lingkungan masyarakat.
5) Berorientasi
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.
2.
Etika pegawai ASN terhadap diri sendiri
meliputi :
1) Jujur
dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
2) Bertindak
dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
3) Memiliki
daya juang tinggi.
4) Memelihara
kesehatan jasmani dan rohani.
5) Berinisiatif
untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap.
6) Menjaga
keutuhan dan keharmonisan keluarga
7) Menghindari
konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
8) Berpenampilan
sederhana, rapih, dan sopan.
Kunci dari semua proses tersebut diatas
dalam membangun Administrasi adalah terletak pada Aparatur Sipil Negara yang
mempunyai kualitas etika dan moral yang baik dan didukung oleh kompetensi dalam
bidangnya masing-masing. Inilah salah satu pertimbangan kenapa UU ASN ini
dibuat, selain itu juga sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil
negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran
sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk
kepentingan kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik yang
bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang
terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi
sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan
masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus
ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan
yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting
karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, meskipun dengan imbalan
tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat
yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.
Rekonstruksi kultural dalam rangka
melindungi penyingkap kasus penyelewengan ASN di lingkungan birokrasi dapat
dilakukan dengan cara penegakkan kode etik adalah tatanan etika yang disepakati
oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Ia merupakan suatu bentuk aturan tertulis
yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
ada dan pada saat yang dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk
menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common
sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian kode etik adalah
refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Fungsi dari kode etik
profesi adalah untuk
a) memberikan
pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan,
b) sebagai
sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
2. Dilakukan perubahan pola pikir PNS
Jika menghendaki
perubahan besar dan mendasar,garaplah Mindset Anda
(Carol S. Dweck, PH.D, 2007). Program Mind Setting
telah dijadikan standar Modul Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara oleh
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, tahun 2003. Kepercayaan masyarakat
terhadap PNS yang menurun akibat korupsi, malas, tidak produktif, kurang
memberikan pelayanan, etos kerja rendah dan lain-lain membutuhkan
reformasi/perubahan Pola Pikir yang berorientasi pada pelayanan kepada
masyarakat. Salah satu wujud dari perubahan pola pikir bagi PNS dapat dimulai
dari 5 (lima) pilar dasar seperti yang tertuang dalam Fifth Diciplin (PetterM Senge), yaitu: Personal Mastery, Mental Model, Share Vision, Learning Organization dan
System Thinking.
3. Cara-cara
untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak :
1. Orang tua
membuka komunikasi dan menjalin kedekatan emosi dengan anak-anak. Dengan cara
menyempatkan diri untuk bermain bersama anak-anak.
2. Orang tua
disarankan memberikan pengertian kepada anak-anak tentang tubuh mereka dan
hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya.
Misalnya, anak diberi pengertian bahwa kalau ada orang lain yang mencium misal
di pipi harus hati-hati karena itu tidak diperbolehkan, apalagi orang lain itu
yang tidak dikenal.
3. Kenalkan
kepada anak perbedaan antara orang asing, kenalan, teman, sahabat, dan kerabat.
Misalnya, orang asing adalah orang yang tidak dikenal sama sekali. Terhadap
mereka, si anak tak boleh terlalu ramah, akrab, atau langsung memercayai.
Kerabat adalah anggota keluarga yang dikenal dekat. Meski terhitung dekat,
sebaiknya sarankan kepada anak untuk menghindari situasi berduaan saja.
4. Jika sang
anak sudah melewati usia balita, ajarkan bersikap malu bila telanjang. Dan,
bila sudah memiliki kamar sendiri, ajarkan pula untuk selalu menutup pintu dan
jendela bila tidur.
5. Adanya
keterlibatan aparat penegak hukum yakni penyidik, jaksa dan hakim dalam
menangani kasus pelecehan seksual pada anak sehingga berperspektif terhadap
anak diharapkan dapat menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana pelecehan
sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual
sanksi yang diberikan para PNS yang melakukan
pelanggaran berat sesuai PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Antara
lain yakni penurunan dari jabatan kepegawaian, penundaan kenaikan pangkat
hingga pemecatan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
- Kesimpulan
- Saran
DAFTAR PUSTAKA
4.
Kelompok
Buku Lain
Coller
Edward, Pelecehan Seksual, cet ke-1,
Yogyakarta: PT Gloria Usaha Mulia,1992.
Wagiati
Seotdojo, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT Refika Adiatama, 2006.
ABRI
Bayu
Suryaningrat, Etika Administrasi Negara,
Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung : Pustaka, 1984.
Kumorotomo,
Wahyudi. 1992. Etika administrasi Negara.
Rajawali Pers, Jakarta.
James, Jennifer, 1996, Thinking in The Future Tense,
Jennifer James Inc.
Lukman, Sampara, 1999, Manajemen Kualitas Pelayanan,
STIALAN Press,
Jakarta.
Senge, P. (1990). The
Fifth Discipline. New york: Doubleday/ Currency.
5.
Kelompok
Undang-undang
Undang-undang
Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. (diunduh
24 November 2016 12:45 WIB)
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tenttang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. (diunduh 24 November 2016 13:00 WIB)
6.
Internet
Eko
Budianto. (2016, 27 Oktober). PNS di
Mojokerto divonis 5 Tahun Penjara
terbukti cabuli Gadis SD. Detikcom (Online). Tersedia : http://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3330978/pns-di-mojokerto-divonis-5-tahun-penjara-terbukti-cabuli-gadis-sd
[Diakses 23 November 2016 07:00 WIB}
KISAH CERITA SAYA ~ SUKSES JADI PNS
BalasHapusAssalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....